Selasa, 05 Juli 2011

Rasionalisasi oh Rasionalisasi

IMHO:
Rasionalisasi PNS, merupakan suatu issue yang saat ini sedang hangatnya berkembang. Wacana yang kembali dilontarkan oleh Menteri Keuangan ini banyak memunculkan pro dan kontra. Rasionalisasi dalam konteks kepegawai dapat diartikan sebagai penyusunan jumlah pegawai dengan rasio yang tepat terhadap pelayanan yang diberikan.
Dari definisi di atas rasionalisasi dapat dimaknai tidak hanya pengurangan pegawai namun juga penambahan, penataan, dan redistribusi pegawai yang pada intinya adalah bagaimana memperoleh pegawai dengan perbandingan yang tepat dengan tugas dan fungsi yang dilaksanakan oleh organisasi.
Sejalan dengan pelaksanaan reformasi birokrasi di bidang SDM yang dilakukan, terdapat beberapa permasalahan yang menarik terkait dengan rasionalisasi PNS jika akan dilakukan. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut:
  1. Masalah kekurangan jumlah pegawai
    Secara umum, berdasarkan perhitungan formasi pegawai, penyampaian daftar kebutuhan pegawai dari unit kerja, maupun hasil dari analisis beban kerja, terdapat kekurangan jumlah pegawai yang memerlukan adanya penambahan pegawai. Namun di beberapa level jabatan juga terjadi adanya “kelebihan pegawai” yang menduduki jabatan tersebut.
  2. Kekurangan "kuantitas pegawai" vs kekurangan "kualitas pegawai".
    Pada saat munculnya pernyataan bahwa terjadi “kekurangan jumlah pegawai”, hendaknya dapat dilakukan kajian lebih lanjut mengenai beban kerja yang ada yang diperbandingkan dengan “orang” yang mengerjakan (bukan jumlah orang).
    Terdapat dua penyebab permasalahan ini:
    • Terkadang yang terjadi adalah KURANG MEMBERDAYAKAN PEGAWAI YANG ADA, dimana pegawai dalam organisasi tersebut cukup banyak namun sedikit yang diberdayakan (L4=lo lagi lo lagi). Sedangkan pegawai yang minim beban kerjanya tidak diberdayakan, malah didiamkan dan tidak diupayakan peningkatan kualitasnya, yang pada akhirnya hanya menjadi "beban organisasi". Perlakuan yang akhirnya diambil dalam menyikapi hal ini adalah berkeinginan untuk “menambah orang atau mengganti orang” yang diharapkan bisa melaksanakan peran yang selama ini tidak dapat dilaksanakan oleh pegawai yang tidak diberdayakan tersebut.
    • Mungkin saja hal ini terjadi karena memang pegawai yang ada tidak dapat menunjukkan kinerja dan kompetensi yang dibutuhkan oleh organisasi untuk melaksanakan penugasan yang telah diberikan. Sehingga dengan sangat terpaksa dilakukan langkah L4 agar penugasan dapat dilaksanakan dan selesai pada waktunya.
  3. Adanya pegawai yang kompetensi dan kualifikasinya tidak sesuai dengan persyaratan minimal yang sebenarnya dibutuhkan oleh organisasi, namun karena sudah jadi PNS, maka harus tetap diberdayakan dan tidak mudah melakukan pemberhentian PNS.
  4. Distribusi pegawai yang tidak merata sesuai dengan kebutuhan tugas dan fungsi yang dijalankan oleh organisasi.
    Kondisi ini mengakibatkan adanya begitu banyak kekurangan pegawai di beberapa unit kerja, namun disisi lain ada unit kerja yang kekurangannya tidak sebanyak unit kerja lain, karena memang secara umum sebagaimana disebutkan pada nomor 1 di atas.
  5. Terakhir adalah hambatan dari sisi peraturan perundang-undangan (PP No. 32 Tahun 1979 mengenai Pemberhentian PNS).
    Jika akan dilakukan upaya pemberhentian pegawai sebagai salah satu cara dalam rasionalisasi, maka PP No. 32 Tahun 1979 harus direvisi. Berdasarkan peraturan ini, maka Pemerintah dapat memberhentikan pegawai jika melakukan pelanggaran disiplin tingkat berat sesuai PP 53/2010, menjadi anggota parpol, meninggal dunia, atas permintaan sendiri, penyederhanaan organisasi, tidak cakap jasmani dan rohani, dan terlambat melapor setelah CLTN.

Memperhatikan langkah rasionalisasi yang pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk memperoleh pegawai dengan perbandingan yang tepat dengan tugas dan fungsi yang dilaksanakan oleh organisasi, maka rasionalisasi hendaknya didahului dengan langkah-langkah yang dapat meyakini bahwa pegawai yang ada adalah mereka yang memenuhi syarat kompetensi dan kualifikasi yang dibutuhkan oleh organisasi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya untuk mencapai tujuan organisasi.

Rasionalisasi yang dilakukan hendaknya didahului dengan proses-proses assessmen pegawai, pemetaan kompetensi pegawai, serta analisa jabatan dan beban kerja yang pada akhirnya dapat mengidentifikasi pegawai dalam 4 kategori, yaitu melampaui kriteria, sesuai kriteria, mendekati kriteria, dan diluar kriteria.

Bagi pegawai yang masuk dalam kategori 1 dan 2, maka mutlah dipertahankan keberadaanya di dalam organisasi. Pegawai yang masuk dalam kategori 3 harus dikaji lebih lanjut, jangan-jangan karena pekerjaan yang saat ini tidak sesuai atau karena area tugas pegawai yang bersangkutan saat ini sudah terlalu banyak orangnya (persaingan yang begitu ketat), sehingga pegawai dalam kategori ini perlu dialihkan ke area tugas lain (mutasi jabatan) atau dialihkan ke wilayah lain (mutasi unit kerja). Sedangkan kategori ke-4 inilah yang menjadi PR besar bagi organisasi, karena tidak terpenuhinya persyaratan dari sisi kompetensi maupun kualifikasi yang dipersyaratkan.

Program-program kediklatan, continuing professional education dan pengembangan pegawai, hendaknya juga dapat dirancang sejalan dengan proses identifikasi ini. Upaya untuk meningkatkan Knowledge, Skill, dan Attitude (KSA), mutlak diperlukan agar pegawai dapat masuk dalam kategori 1, 2, atau minimal masuk dalam ketegori 3.
Beberapa arah yang ingin dicapai dari proses rasionalisasi pegawai adalah:

  1. Proses rasionalisasi yang dilakukan mutlak untuk dapat mempertahankan pegawai Kategori 1 dan 2 di dalam organisasi. Untuk itu organisasi harus menciptakan langkah-langkah yang menarik untuk tetap dapat "mempertahankan pegawai" dalam kategori ini, baik dari sisi pola pengembangan karier pegawai maupun penghargaan lainnya. Di sisi lain, pegawai pun harus mempertahankan dan meningkatkan kompetensi yang dimiliki agar senantiasa dapat memenuhi kebutuhan organisasi akan SDM yang handal.
  2. Upaya kediklatan dan pengembangan pegawai yang dirancang oleh organisasi, hendaknya dapat meningkatkan KSA pegawai, terutama pegawai yang berada di kategori 3 dan 4. Apabila ternyata upaya ini tidak cukup mampu meningkatkan kompetensi dan kualifikasi pegawai, maka perlu diambil langkah “rasionalisasi” terhadap pegawai yang teridentifikasi dalam kategori “deadwood” .
  3. Re-distribusi pegawai dengan menyeimbangkan penempatan pegawai sesuai dengan beban kerja unit, dengan memperhatikan jumlah mitra kerja (Kementerian/Lembaga, pemerintah Daerah, BUMN/D atau Badan lainnya), nilai APBN/D yang diawasi, nilai strategis mitra kerja bagi pemerintahan/pembangunan nasional, dan peran yang dilaksanakan oleh unit kerja (fungsi rendal, fungsi koordinator/kompilator, atau fungsi operasional)
  4. Melakukan perekrutan pegawai baru yang selektif. Perekrutan pegawai yang baik akan menghasilkan SDM yang baik.
    Jangan bicara pengembangan SDM, diklat, staffing, atau penempatan pegawai, jika pegawai yang direkrut sudah tidak baik sejak awal, karena akan sangat costly dan mendekati bentuk kegagalan kaderisasi. Dengan melakukan perekrutan pegawai yang selektif, diharapkan dapat menghasilkan pegawai yang baik dan sesuai dengan kebutuhan organisasi, yang nantinya juga diharapkan memberikan efek tular perubahan kepada pegawai yang sudah ada untuk berkompetisi secara sehat dan menjadi semakin baik. Jangan sampai terjadi suatu kondisi dimana pegawai baru yang awalnya baik malah tertular “virus negatif" dan akhirnya malah menjadi "deadwoods" baru bagi organisasi.
  5. Mengusulkan adanya suatu revisi PP mengenai pemberhentian pegawai, karena JIKA TIDAK ADA perampingan organisasi, masalah "ketidakcakapan" serta pelanggaran disiplin berat, akan sulit bagi Pemerintah melakukan pemberhentian pegawai secara “kedinasan”, kecuali atas permintaan sendiri dari pegawai.

Diskusi lebih lanjut atas hal ini masih sangat terbuka

Selasa, 23 Desember 2008

Berkunjung ke BaliCamp - The Other Side of Bali

Siapa yang tidak kenal dengan “silicon valley” yang berada di Amrik sana? Pasti sebagian besar dari kita mengenal tempat tersebut sebagai tempat pengembangan Information and Communication Technology (ICT) yang berskala internasional. Tapi siapa yang akan mengira kalau ternyata di Indonesia pun kita memiliki pusat pengembangan software ternama.

BALICAMP, itulah nama tempat tersebut. Terletak di daerah Baturiti-Bedugul, Bali, di daerah perbukitan dengan alam yang sejuk dan pemandangan persawahan tradisional model system pengairan Subak Bali yang sangat terkenal. BaliCamp dibangun sebagai bagian dari upaya pendirian suatu “silicon valley” di Indonesia.

Pada akhir minggu III November 2008, disela-sela waktu kegiatan penyusunan, pembahasan, dan penyelesaian prosiding Pra Raker BPKP 2008 dan persiapan materi Raker 2008, saya bersama beberapa rekan memperoleh suatu kesempatan langka yaitu mengunjungi BaliCamp.

Hal yang paling menarik dari BaliCamp ini adalah suatu tempat kerja yang begitu nyaman. Nuansa yang pertama kali kita peroleh pada saat memasuki BaliCamp adalah suatu nuansa hotel atau resort berbintang dengan suasana tradisional pedesaan. Namun yang ada didalamnya adalah suatu tempat dengan para expert di bidang analis dan pemrograman di bidang sistem informatika.

TEMPAT KERJA YANG BEGITU NYAMAN. Tempat ini tidak menunjukkan sebagai tempat kerja, tapi seperti sebuah tempat peristirahatan di akhir pekan. Dilengkapi dengan kolam renang, tempat olah raga, dan kamar yang dilengkapi dengan whirlpool. Begitu nyaman, karena tempat tersebut memang memberikan nuansa keteduhan dan ketenangan untuk berkonsentrasi bekerja. Anda dapat beristirahat sejenak jika lelah. Dengan melihat ke luar memandangi teduhnya pemandangan persawahan perbukitan yang begitu natural dan berciri khas bali atau sekedar ‘take a nap’ di sofa yang tersedia.

Setiap ruangan memiliki karakteristik yang sama. Meja kerja dengan perangkat computer lengkap dengan menghadap ke arah jendela. Meja yang tidak berlaci sehingga memang semua document tidak akan tersimpan dalam kertas. Suatu model kerja yang sangan mendorong pegawai melaksanakan “paperless”. Bagi saya pribadi, ini merupakan suatu pandangan baru mengenai tempat bekerja.

Saya pernah membaca suatu artikel mengenai ruangan kerja para karyawan Yahoo, yang begitu membawa kesenangan bagi para karyawan dalam bekerja. Tapi di BaliCamp, suasana alami dan ketenangan untuk bisa totalitas dalam bekerja itu lah gambaran yang bisa didapat. Totally Different, membawa konsep hotel dan resort berbintang dengan nuansa alam pedesaan sebagai suatu tempat kerja bagi para pakar informatika yang selama ini terkesan modern dan futuristic. Sehingga tidak salahlah kiranya jika saya mengatakan bahwa hal ini merupakan the other side of bali. Karena bali yang selama ini dikenal sebagai daerah wisata ternyata menyimpan suatu tempat yang luar biasa dalam perkembangan suatu industry ICT yang modern.

Suatu hal yang bisa diambil dari kunjungan ini adalah buatlah lingkungan dan suasana kerja anda nyaman, sehingga dapat membuat anda dan rekan-rekan lainnya untuk bekerja nyaman dan memberikan ide-ide yang lebih brilliant untuk perkembangan dan kemajuan BPKP.

Terima kasih banyak untuk Mas Daryanto dan Bang Rudy dari Pusinfowas yang telah mengajak saya untuk melihat “silicon valley” Indonesia. Pencerahan baru bagi saya dalam “melihat” sendiri suatu lokasi kerja yang luar biasa, bukan hanya dari artikel-artikel yang pernah saya baca.

Sumber Foto: Tim Prosiding Pra-Raker dan http://visipramudia.wordpress.com

Minggu, 14 Desember 2008

Penipuan Mutasi/Promosi Pegawai

Hari ini, terulang kembali. Beberapa Bapak/Ibu/Rekans Pejabat Struktural di lingkungan BPKP dihubungi oleh seseorang yang meminta untuk menghubungi Bapak Kepala Biro Kepegawaian dan Organisasi di nomor HP tertentu.

Nomor yang dihubungi si "oknum" pada awalnya adalah nomor telepon kantor, dengan "bantuan" operator BPKP yang terkenal sangat friendly and helpful, maka yang bersangkutan berhasil meyakinkan operator untuk disambungkan dengan seorang Pejabat di lingkungan Perwakilan. Kemudian yang bersangkutan dengan meyakinkan akan meminta Bapak/Ibu/Rekans Pejabat tersebut untuk menghubungi suatu nomor yang dia yakinkan sebagai nomor HP dari Kepala Biro Kepegawaian dan Organisasi BPKP (catatan: ketahuan modalnya tipis, malah minta dihubungi). Ada beberapa yang penasaran dan mencoba menghubungi nomor HP tersebut.

Hal ini merupakan modus lama, diawali dengan perbincangan mengenai kabar keluarga dan basa basi lainnya, yang pada akhirnya diakhiri dengan permintaan dari si "oknum" mengenai uang dalam jumlah tertentu dengan iming-iming bahwa si "oknum" ini tidak akan melupakan jasa baik dari Bapak/Ibu/Rekans.

Cerita ini bukan hanya terjadi di BPKP, rekan-rekan di Departemen Keuangan, Departemen Kumham, Kepolisian, Kejaksaan, bahkan di BUMN seperti Bank Mandiri dan BRI pun pernah bercerita hal yang sama mengenai modus seperti tersebut di atas. Banyak langkah yang sudah diambil untuk berusaha menyelesaikan permasalahan ini baik melalui jalur informal maupun melalui jalur hukum. Namun ternyata tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan untuk mengungkap kasus ini.

Kerjasama dengan pihak operator pun rasanya tidak akan maksimal, dengan mudahnya memperoleh nomor perdana dengan harga yang sangat murah. Gonta-ganti nomor HP dapat dengan cepat dilakukan. Proses registrasi yang diminta oleh operator selular saat ini lebih banyak yang akal-akalan belaka dan bentuk formal. Siapapun dapat registrasi tanpa menggunakan identitas sebenarnya, bahkan tanpa registrasi pun ada kartu perdana dari beberapa operator dapat dipergunakan dalam jangka waktu 1x24 jam.

Kerjasama dengan pihak perbankan pun belum dapat optimal, pembukaan rekening dapat dilakukan dengan saldo minimal Rp 50.000 s.d Rp 100.000. Proses transfer pun dapat dilakukan secara elektronik (sms banking atau internet banking). Jadi jika ada Bapak/Ibu/Rekans yang sudah terlanjur percaya dan mentransfer, maka dalam hitungan detik jumlah tersebut telah terdistribusi dari satu rekening ke rekening yang lain. Mungkin menurut kita jumlah tersebut adalah sangat material (biasanya si "oknum" meminta dengan kisaran Rp 5jt-Rp 50jt), tapi dalam ketentuan perbankan jumlah tersebut belum menjadi focus utama perhatian transaksi perbankan. Karena ukuran materialitas transaksi perbankan saat ini adalah di atas Rp 100 jt untuk tunai dan di atas Rp 200 jt untuk transfer.

Kondisi yang dipermainkan oleh yang bersangkutan adalah kecepatan waktu dan upaya meyakinkan secara emosional. Jika kita terayu maka dalam waktu yang cepat uang telah menghilang, begitu juga dengan nomor HP yang bersangkutan. Emosi kita yang dipermainkan, rasa ketidakpercayaan terhadap system ataupun rasa ingin membantu untuk melalui kesulitan sebagaimana yang diceritakan oleh si "oknum" ataupun juga rasa ingin segera ditolong agar dapat dipertimbangkan dalam perputaran pegawai.

Telah ada beberapa rekans yang membantu kami dalam mengumpulkan informasi mengenai yang si "oknum". Mulai dari nomor telepon yang digunakan, nama dan nomor rekening yang dipergunakan oleh si "oknum" di beberapa bank, uraian modus operandi (kelompok pelaku diindikasikan berupa Gank kesukuan yang terorganisir), hingga rekaman pembicaraan.

Mengenai komentar bahwa ada beberapa Bapak/Ibu/Rekans di Perwakilan yang dihubungi kemudian ternyata yang bersangkutan di promosi/mutasi. Kami berani mengatakan, bahwa hal ini adalah kebetulan semata. Jika kita perhatikan jumlah pejabat struktural saat ini di seluruh Perwakilan adalah kurang lebih 275 orang, dengan rata-rata promosi/mutasi setiap tahun (untuk tingkat perwakilan yang bisa mencapai 75 orang) rasanya probabilitas kebetulan dari sampling yang dilakukan oleh si oknum bisa mendekati 30%.

BAPERJAKAT BPKP telah memiliki suatu mekanisme mengenai penilaian dan pengukuran atas rencana promosi dan mutasi pegawai BPKP. Biarlah mekanisme itu berjalan sesuai Pedoman dan Keputusan yang telah ditetapkan. Jika menurut persepsi Bapak/Ibu/Rekans terdapat kelemahan atas mekanisme tersebut, mohon kiranya dapat diberikan masukan kepada kami melalui melalui sukmana9@yahoo.com untuk penyempurnaan mekanisme yang ada.

Sehingga jika ada kembali kejadian ini, kita semua percaya bahwa itu dilakukan BUKAN OLEH BIRO KEPEGAWAIAN DAN ORGANISASI BPKP.

Apa yang harus dilakukan:

  • JANGAN PERNAH PERCAYA.
  • JANGAN PERNAH MEMBERIKAN APAPUN..
  • JANGAN LUPA UNTUK KONFIRMASI KE BIRO KEPEGAWAIAN DAN ORGANISASI LEWAT JALUR TELEPON PABX KE KANTOR PUSAT..

Senin, 02 Juni 2008

acquit et de charge

Sedikit tulisan mengenai konsep acquit et de charge yang kembali mencuat, bahkan beberapa hari lalu, Jumat, 30 Mei 2008, TVRI telah menayangkan suatu diskusi dengan tema ini dengan nara sumber Bapak Ardan Adiperdana, Deputi Bidang Akuntan Negara.

Istilah "acquit et de charge", mohon koreksi, karena pada beberapa artikel banyak yang menulisnya dengan istilah "acquit et discharge". Istilah ini merupakan istilah dalam bahasa Prancis yang jika di bahasa Inggris-kan dia akan menjadi "release and discharge". Diawali dengan ide yang diungkap oleh Kepala BPKP pada Kompas, 27 Mei 2008 sebagaimana dibawah ini:

==========
BPKP Ingin Tanggung Jawab Hukum Pejabat Dibebaskan di Kemudian Hari

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau BPKP mengajukan konsep mengenai acquit et discharge atau pembebasan tanggung jawab hukum di kemudian hari bagi para pejabat yang telah selesai menjalankan tugasnya. Kecuali, jika terungkap adanya perbuatan pidana atas tindakan hukum yang sebelumnya tidak pernah dikemukakan secara jujur di laporan pertanggungjawabannya selama ia pernah menjabat.

Menurut Kepala BPKP Didi Widayadi kepada Kompas di Jakarta, Selasa (27/5), konsep pemikiran ini diajukan BPKP untuk mengatasi kegamangan dan untuk memberikan kepastian hukum terhadap para pejabat yang telah mengakhiri tugasnya. Namun, kerapkali mereka dibayang-bayangi rasa kekhawatiran dan ketakutan di hari tuanya akan diungkit-ungkit kebijakannya yang telah diputuskannya.

Kegalauan ini dirasakan oleh banyak pejabat, mulai dari pimpinan proyek, kepala daerah hingga pejabat di pusat. "Konsep ini menjadi strategis manakala pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla akan berakhir tahun depan," ujar Didi.

Sebagaimana tertuang dalam buku berjudul Akuntabilitas Keuangan Pengelolaan Keuangan Negara sebagai Perekat NKRI, yang awal Mei ini diterbitkan BPKP, Didi mengatakan BPKP merekomendasikan kepada pemerintah untuk membentuk suatu komite yang anggotanya terdiri dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Mendagri, Menteri Negara PPN/Bappenas, BPKP dan menteri terkait lainnya.

Didi menambahkan, konsep ini sebenarnya sudah beberapa kali disampaikan di antaranya dalam rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) serta Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) baru-baru ini di Jakarta. Sejauh ini, respon tersebut diakui positif. Dikatakan Didi, konsep acquit et discharge ini juga merupakan bagian dari akuntabilitas dan kepastian pengelolaan keuangan negara sebagaimana yang dikenal dalam ranah perusahaan publik, yaitu dalam rapat umum pemegang saham (RUPS).

Akan tetapi, kalau dalam pemerintahan, bukan soal untung rugi yang menjadi ukurannya, melainkan manfaat ekonomi dan sosial yang dirasakan oleh masyarakat atas kebijakan pejabat, jelas Didi. Lebih jauh Didi menyatakan, bentuk dari akuntabilitas itu hendaknya diwujudkan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Akuntabilitas yang dapat memberi kepastian hukum.
==========

Dalam etymology bahasa Inggris sebagaimana dikutip dari Wikipedia, kalimat ini ditafsirkan sebagai: "To set free, release or discharge from an obligation, duty, liability, burden, or from an accusation or charge" atau dalam terjemahan bebasnya adalah pembebasan dari tanggung jawab, tugas atau kewajiban atas kegiatan yang telah dilaksanakan.

Istilah ini mulanya banyak digunakan dalam pertanggungjawaban pengurusan suatu perseroan, dimana RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) sebagai pengejawantahan dari para pemilik suatu perseroan, memberikan pelunasan dan pembebasan tanggungjawab sepenuhnya (acquit et de charge) kepada segenap anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan atas tindakan pengurusan dan pengawasan yang telah mereka jalankan selama tahun buku yang telah diaudit atau telah dipertanggungjawabkan, sejauh tindakan pengurusan dan pengawasan tersebut tercermin dalam Laporan Tahunan dan Perhitungan Tahunan (Laporan Keuangan) yang disampaikan oleh pihak Direksi dan Komisaris.

Penerapan acquit et de charge selama ini lebih banyak dikenal dalam ranah private sector, yaitu suatu hubungan antara pemilik modal dengan pihak yang ditunjuk untuk mewakili pemilik modal dalam mengelola dan mempertanggungjawabkan pengelolaan modal yang di-amanah-kan.

Kondisi yang ditekankan dari penerapan acquit et de charge bahwa Direksi dan Komisaris telah melaksanakan prinsip pengungkapan informasi yang memadai, wajar, trasparan dan akuntabel.
Pembebasan tanggung jawab tidak berlaku apabila terdapat kegiatan/transaksi yang bernilai material namun tidak tercermin dalam Laporan Tahunan sehingga laporan yang disampaikan menyesatkan ataupun merugikan pemilik modal. Batasan dari penerapan ini pada private sector boleh dikatakan lebih jelas, karena garis merahnya adalah profit dan kesinambungan usaha.

Pada sektor perbankan (khususnya pada Bank Indonesia), aturan mengenai acquit et de charge tertera dalam UU BI no 23 tahun 1999 Pasal 45, yang menyebutkan Gubernur, Deputi Gubernur Senior, Deputi Gubernur, dan atau pejabat Bank Indonesia tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini sepanjang dilakukan dengan itikad baik.

Penjelasan lebih lanjut mengenai pasal ini menyebutkan bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum atas tanggung jawab pribadi bagi anggota Dewan Gubernur dan/atau pejabat Bank Indonesia yang dengan iktikad baik berdasarkan kewenangannya telah mengambil keputusan yang sulit tetapi sangat diperlukan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

Pengambilan keputusan dapat dianggap telah memenuhi iktikad baik apabila:

  1. dilakukan dengan maksud tidak mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompoknya sendiri, dan/atau tindakan-tindakan lain yang berindikasikan korupsi, kolusi dan nepotisme;
  2. dilakukan berdasarkan analisis yang mendalam dan berdampak positif;
  3. diikuti dengan rencana tindakan preventif apabila keputusan yang diambil ternyata tidak tepat;
  4. dilengkapi dengan sistem pemantauan.

Aturan main mengenai acquit et de charge dalam aturan BI lebih jelas dengan kriteria-kriteria umum yang secara pribadi menurut saya cukup untuk memberikan kebebasan bertindak secara professional dan mempertanggungjawabkan tindakan tersebut di kemudian hari.
Namun ternyata sektor perbankan pula yang telah mencederai makna acquit et de charge sehingga muncul persepsi negative masyarakat tentang istilah ini. Pada tahun 2002, diterbitkan Inpres No. 8/2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur yang telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.

Release and Discharge (R & D) yang diberikan dalam Inpres No. 8/2002 ini merupakan kebijakan yang diberikan oleh pemerintah sebelumnya kepada para obligor hitam untuk mengembalikan cicilan kerugian negara dengan potongan dari 16-36 persen, yang diatur dalam MSAA (Master of Acquisition and Agreement) dan merupakan perjanjian penyelesaian utang di luar pengadilan (settlement out of court). Namanya saja sudah perjanjian yang bersifat perdata, sehingga tidak dapat menghilangkan tuntutan pidana. Namun, sangat disayangkan karena kebijaksanaan yang berdasarkan MSAA ini yang dipakai oleh "Tim 35" menghentikan penyelidikan kasus BLBI tersebut (vide: penjelasan Jam Pidsus dalam Kompas, edisi Sabtu, 1 Maret 2008 ). Bahkan terakhir terungkap "permainan" pihak kejaksaan dengan tertangkap basahnya Jaksa Urip.

Kondisi warisan dari kasus BLBI ini yang mengakibatkan ide acquit et de charge yang diusung oleh BPKP membawa pro-kontra. Pihak yang menolak atas hal ini masih phobia atas penyalahgunaan penerapan acquit et de charge oleh aparat pemerintah. Yang pada akhirnya menimbulkan lahan baru untuk berkorupsi.

Lalu, bagaimana dengan penerapan acquit et de charge untuk sektor pemerintahan. Kepala BPKP telah menegaskan bahwa penerapan konsep ini pada sektor public dilakukan untuk memberikan kepastian hukum terhadap para pejabat yang telah mengakhiri tugasnya, sehingga tidak ada lagi kegamangan serta memberikan suatu kepastian hukum. Namun kiranya aturan atau rambu-rambu yang jelas mengenai penerapan konsep ini pun harus dilakukan.

Kejelasan akan adanya bentuk dan jenis informasi yang harus dilaporkan dalam laporan pertanggungjawaban pejabat public sebagai bentuk adopsi Laporan Tahunan sebagaimana yang ada perseroan, rasanya perlu dikaji lebih lanjut. Apakah bentuk dan dan jenis informasi sebagaimana dilakukan pada Laporan Akuntabilitas Kinerja atau Laporan Akuntansi Instansi dianggap telah memadai.

Kejelasan berikutnya adalah, lembaga/badan/dewan apakah yang diberikan kewenangan untuk menetapkan acquit et de charge kepada pejabat public dimaksud. Apakah kelembagaan DPR dapat mewakili RUPS? Jika ini kita tanyakan, maka sebagian besar mungkin masih akan meragukan bentuk keterwakilan. Apalagi dengan degradasi kepercayaan kepada wakil-wakil rakyat yang saat ini berkembang.

Dan terakhir, konsep acquit et de charge akan lebih berhasil apabila kebijakan yang diambil dilakukan dengan itikad baik sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang pada akhirnya adalah:

  1. Tidak untuk memperkaya diri sendiri dan keluarganya/kroninya;
  2. Negara tidak dirugikan, aspek 3E atas pelaksanaan tugasnya sebagai pemimpin sektor public dapat tercapai;
  3. Terlayaninya kepentingan public.

Diskusi lebih lanjut atas wacana ini masih sangat dimungkinkan. Kritik dan saran Bapak/Ibu atas artikel ini sangat dinantikan.

Selasa, 29 April 2008

Ethos Kerja Minimalis

Ethos kerja atau kebiasaan kerja atau nilai-nilai dalam bekerja, merupakan istilah yang sering kita dengar dalam keseharian kita. Ethos berasal dari bahasa Yunani yang berarti kebiasaan. Kata ini dalam istilah bahasa Yunani pun berkembang dengan adanya istilah “ethikos” yang berarti timbul dari kebiasaan. Dalam serapan bahasa Indonesia kata ini kemudian disebut dengan etika. Istilah ethos atau ethikos ini pertama kali diperkenalkan dalam bahasa Inggris oleh Myrmekolog berkebangsaan Amerika, William Morton Wheeler pada tahun 1902.

Dalam bekerja, kita senantiasa dituntut untuk memiliki ethos kerja yang tinggi, yaitu suatu sikap dalam bekerja yang menjunjung tinggi nilai etika dan dalam melaksanakan pekerjaan didasarkan pada asas profesionalisme. Selain itu kita juga diharapkan memiliki suatu nilai kepekaan yang tinggi terhadap kondisi yang ada disekitar kita dan senantiasa bersikap positif. Memang bukan hal yang mudah untuk melaksanakan dan sangat bersifat konsepsi yang begitu “ngawang-ngawang”. Namun itulah slogan yang senantiasa dihembuskan dalam dunia kerja kita.

Sebagian dari kita apabila ditanyakan mengenai hal ini pasti akan menjawab bahwa telah memiliki ethos kerja yang sangat baik. Namun persepsi sebagian pengguna jasa menunjukkan bahwa kondisi saat ini terdapat suatu degradasi yang tanpa disadari sedikit demi sedikit mengurangi makna dan hakekat dari ethos kerja yang begitu dijunjung tinggi. Sehingga membawa kita dalam suatu kondisi berethos kerja yang begitu minim dalam melaksanakan pekerjaan atau memberikan pelayanan. Keadaan ini dikenal dengan istilah ETHOS KERJA MINIMALIS.

Paulus Wirutomo, Guru Besar Sosiolog Universitas Indonesia, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ETHOS KERJA MINIMALIS adalah suatu ethos kerja yang dimiliki seorang pegawai yang merasa cukup jika telah melakukan apa yang menjadi tugas pokok. Mereka yang memiliki ethos kerja minimalis ini enggan melakukan hal-hal di luar tugas, apalagi jika itu membutuhkan banyak inisiatif dan pengorbanan.

Ethos kerja minimalis ini membawa beberapa dampak, antara lain pada tumbuhnya apatis terhadap nasib sesamanya, berkurangnya kepekaan atas kondisi lingkungan, berkurangnya rasa kebersamaan, dan merasa cukup untuk bekerja sesuai dengan pedoman tanpa pernah berupaya untuk memberikan upaya lebih atau bekerja lebih baik dari standar.

Terdapat beberapa penyebab terjadinya ethos kerja minimalis, mulai dari banyaknya masalah atau beban kerja yang harus diselesaikan setiap harinya, sehingga jika ada yang harus dibantu atau dilayani lebih, mengakibatkan ada banyak tugas lainnya atau orang lain yang harus dibantu hingga akhirnya daripada repot sendiri, lebih baik di-cuek-in aja.

Penyebab lain dari ethos kerja minimalis adalah berasal dari perlakuan yang diterima sebagian besar pegawai dari lingkungan atau tempat kerjanya. Wirutomo berpandangan bahwa ethos kerja minimalis merupakan sikap yang timbal balik. Jika pegawai diperlakukan minimalis oleh atasannya atau lingkungan kerjanya maka dia akan berlaku serupa terhadap orang lain.

Ethos kerja minimalis juga dapat disebabkan oleh begitu banyaknya peraturan atau ketentuan atau pedoman atau standar yang harus dipatuhi sehingga pegawai menjadi tidak lagi mengetahui referensi atau acuan yang mana lagi yang akan digunakan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. ‘Bejibun-nya’ referensi atau acuan atau pedoman atau SOP membawa dampak pada pegawai yang merasa cukup bekerja dalam aturan yang ada, pada akhirnya membuat tanggung jawab kerja yang dibuatnya menjadi terbatas. Sehingga bagi sebagian pegawai lainnya akan merasa “untuk apa melakukan sesuatu yang bukan tanggung jawabnya”.

Keterbatasan tanggung jawab ini membuat pegawai akan beranggapan bahwa orang lain akan melakukan hal itu namun masalahnya orang lain juga berpikiran serupa sehingga akhirnya justru tidak ada orang yang melakukannya.

Sekarang kembali ke kita, apakah ethos kerja kita akan terdegradasi sehingga menjadi pegawai yang memiliki ethos kerja minimalis atau apakah kita telah berhasil menumbuhkan ethos kerja di diri kita dan di organisasi kita, sehingga ethos kerja yang baik akan terus berkembang menjadi bentukan ethos kerja yang ideal yang didambakan oleh kita bersama.

Selasa, 08 April 2008

Senses of Services

Dalam keseharian kita sering mengenal banyak sekali istilah senses (rasa/peka), baik senses of crisis, senses of art, atau senses of humor. Kini muncul khazanah baru yang mungkin terkait dengan kegiatan rutin kita, yaitu senses of service. Secara harfiah sense diartikan sebagai suatu rasa peka.

Sama seperti senses lainnya, senses of service juga merupakan suatu kepekaan yang harus ditumbuhkembangkan dari diri kita. Senses ini diperlukan sebagai upaya untuk memberikan pelayanan. Pelayanan disini bukanlah suatu bentuk layanan yang diberikan oleh seorang servant, namun lebih kepada penyediaan jasa atau memberikan support kepada partner kerja kita, baik kepada atasan, bawahan, maupun rekan sejawat.

Senses of service bisa dimiliki oleh semua orang karena kita yakin bahwa suatu senses selain merupakan suatu bawaan seseorang juga dapat dibentuk dan dilatih kepekaannya. Hal ini dapat dimulai dengan kita menilai diri, apakah pada saat kita melihat bahwa rekan kita mengalami kesulitan dalam menyelesaikan pekerjaannya atau memiliki load kerja yang cukup tinggi kita hanya menjadi pemirsa setia saja atau kita berupaya memberikan saran, dan jika diperkenankan, bahkan membantunya untuk menyelesaikan pekerjaan. Ini juga merupakan bagian dari senses of service. Apabila kita dalam tahapan dan posisi selalu menunggu penugasan atau menunggu permintaan bantuan dari rekan kerja mungkin mulai saat inilah kita harus mulai melatih senses of service kita.

Selain memiliki senses of service, kita juga harus tetap memperhatikan bahwa kita memiliki pula tanggung jawab terhadap tugas yang diembankan kepada kita. Disinilah diperlukan pula profesional judgment dari kita sebagi individu untuk tetap menyelesaikan tugas namun juga tidak melupakan senses of services bagi kelancaran tugas organisasi secara keseluruhan.

Tidak ada kata terlambat untuk memulai, apalagi kita bersama telah mencanangkan suatu misi untuk mewujudkan pelayanan prima kepada Auditor Internal Pemerintah.

Kamis, 03 April 2008

WAKTUNYA BER-ON-LINE

Bagi sebagian orang, komputer adalah benda aneh yang canggih bagaikan bola kristal seorang penyihir atau peramal, tetapi di sisi lain pada benak kebanyakan orang, komputer adalah barang yang sangat sederhana yang merupakan mesin tik yang canggih. Mungkin karena letak-letak huruf pada papan (keyboard) serupa dengan letak huruf pada mesin tik dan kebanyakan orang menggunakan komputer hanya untuk mengetik. Setidaknya komputer serupa dengan mesin tik ketika digunakan untuk mengetik surat.

Komputer menjadi benda yang semakin ajaib ketika berhubungan dengan internet atau jaringan lokal. Kok bisa sih, sebuah benda yang bernama komputer mengirimkan tulisan yang diketik dengan papan tik kepada seseorang yang juga memiliki benda serupa nun jauh disana?

Bagaimana mungkin sebuah komputer yang hanya terhubung ke saluran telepon kemudian bisa menampilkan berbagai macam gambar diam maupun gambar bergerak dan masih ditambah suara? Kalo ini komputer dilihat sebagai televisi. Komputer memang seperti televisi, paling tidak jika melihat sosok monitornya. Dan sesungguhnya monitor komputer sama dengan pesawat televisi, hanya monitor komputer tidak dilengkapi alat penerima gelombang televisi.

Bagaimana memaksimalkan manfaat komputer dan tidak “merendahkan” komputer dengan menyamakannya dengan mesin tik?

Sepuluh tahun yang lalu, di kantor kita, baik di pusat maupun di perwakilan, dengan pegawai beberapa puluh atau bahkan ratusan, mungkin hanya dilengkapi beberapan unit komputer saja yang dimanfaatkan untuk mengetik surat, mengetik LHP, dan laporan lainnya. Laporan itu kemudian dicetak dengan menggunakan printer dot-matrix yang suaranya memekakkan telinga dan jika malam ”mengundang” pencuri untuk datang.

Sekarang seperangkat peralatan komputer dengan printer berkualitas laser merupakan perlengkapan kerja standar di setiap unit kerja di lingkungan BPKP. Hampir seluruh unit kerja BPKP baik di Pusat maupun di Perwakilan telah melengkapi komputer di setiap ruangan dengan akses ke jaringan intranet yang boleh dikatakan tanpa batas. Mungkin sebagian lainnya masih membatasi penyediaan akses intranet ini. “Kalau diberi akses intranet, pegawai tidak produktif karena setiap saat browsing dan chatting aja kerjaannya,” demikian komentar dari beberapa orang – mungkin juga termasuk Anda.

Komputer diciptakan untuk meningkatkan produktivitas bukan menurunkan produktivitas. Jika menggunakan komputer malahan menurunkan produktivitas, ada yang salah dengan pola pikir dan cara kerja pegawai atau salah memanfaatkan komputer. Lalu bagaimana memanfaatkan komputer untuk meningkatkan produktivitas?

Produktivitas sangat erat hubungannya dengan kondisi kesehatan. Posisi duduk yang salah ketika kerja menggunakan komputer bisa menyebabkan sakit pinggang, sakit leher, dan mata. Jika terdapat keluhan atas penggunaan komputer seperti sakit leher atau sakit pinggang atau mata perih, pasti ada yang salah dalam posisi dalam bekerja. Karena itu, atur posisi duduk di depan komputer yang paling nyaman.

Posisi duduk yang baik adalah posisi tubuh tegak, kepala dan badan menghadap ke depan. Berarti monitor dan keyboard harus berada di depan, jangan meletakkan monitor di sisi sebelah kiri atau kanan. Juga jangan meletakkan monitor lebih tinggi atau lebih rendah dari pandangan. Usahakan posisi keyboard pas ketika sudut siku kita berada dalam posisi 90 derajat. Supaya bisa memposisikan komputer (terutama monitor) dengan pas, memang diperlukan penyediaan meja kerja yang cocok.

Monitor komputer yang sangat terang bisa membuat mata cepat lelah dan menjadi merah teriritasi. Jadi selama 10 menit dalam setiap beberapa jam, alihkan pandangan ke titik yang jauh untuk mengistirahatkan mata agar tidak berakomodasi terlalu lama.

Kelengkapan piranti keras komputer bisa menambah produktivitas. Misalnya, speaker dan CD drive untuk mendengarkan musik. Suara musik di latar belakang yang ringan bagi sebagian orang membuat mudah berkonsentrasi saat bekerja, sebagian lainnya lebih produktif jika tidak ada suara sama sekali. Jika hanya sendiri dalam ruangan, putarlah lagu kesukaan untuk membuat suasana menjadi nyaman. Jika tidak sendiri di satu ruangan, supaya tidak mengganggu rekan kerja gunakan headphone untuk mendengarkan lagu kesukaan. Hindarilah persaingan suara dalam memutar lagu pada suatu ruangan. Ingat kita sedang bekerja bukan sedang menarik pelanggan untuk membeli kaset atau album seperti di toko-toko kaset.

Kelengkapan piranti lunak (software) juga bisa meningkatkan produktivitas kerja. Tetapi yang juga penting adalah bagaimana memanfaatkan piranti lunak itu secara maksimal. Buatlah catatan-catatan langkah-langkah praktis dalam mengoperasikan piranti lunak yang ada dalam buku notes atau catatan kecil lainnya agar kerja kita tidak terganggu akibat kesulitan kecil mengoperasikan piranti lunak itu.

Komputer di sebagian kantor kita yang telah tersambung dengan jaringan lokal (LAN=Local Area Network) sangat membantu mengefisiensikan waktu kerja maupun menghemat biaya operasional kantor. E-mail kedinasan ketika digunakan untuk mengirim surat, bisa menghemat kertas (tidak perlu dicetak dan dikopi) dan waktu (tidak perlu mengantar/mengirim surat tercetak).

Dokumen laporan setebal 100 halaman tidak perlu dicetak hingga 10 kopi untuk para Pejabat, tapi cukup mengirim file itu melalui LAN ke komputer masing-masing Pejabat dalam waktu sekaligus. Bayangkan jika dokumen itu harus dicetak. Berapa banyak biayanya, dan waktu yang diperlukan mulai dari mencetak, mengkopi, menjilid, dan mengirimkannya ke para Pejabat?

Proses review laporan pun dapat dilakukan secara elektronis dan on-line. Optimalisasi penggunaan fasilitas dari Lotus Notes sangat memungkinkan untuk dilakukan proses review on-line secara real-time. Di sisi lain kegiatan review berjenjang pun akan lebih cepat dan lebih hemat karena dapat dilakukan secara paperless. Permasalahannya sekarang adalah bagaimana kita merubah sedikit saja kebiasaan kita dari review tercetak ke review paperless ini. Fasilitas pada software office produksi Microsoft yang sebagian besar dari kita menggunakannya, sangat memungkinkan untuk dilakukannya hal ini. Bayangkan, berapa ratus juta rupiah yang akan kita hemat dan dapat kita alihkan belanjanya untuk keperluan kantor yang lebih mendesak, apabila kita bersama-sama mulai mengarah kepada proses kerja dan review konsep hasil kerja ini secara on-line dan paperless.

Internet dan Intranet membuat komunikasi antar pegawai dan dengan para stakeholders menjadi begitu bebas dan demokratis. Seringkali berita buruk pertama kali tidak datang pada Pimpinan tapi pada pegawai yang tingkatannya paling rendah.
Pelayanan kantor yang buruk, yang seharusnya diketahui oleh para Pimpinan kita, seringkali berhenti sampai pada satpam. Tetapi dengan adanya akses internet/intranet untuk pegawai, berita buruk mengenai organisasi/kantor bisa segera sampai Pimpinan. Kita sudah bersama-sama membuktikannya dengan berbagi begitu banyak informasi dan cerita dengan memanfaatkan fasilitas mailing list ini yang telah disiapkan oleh Pusinfowas.

Jadi jangan ragu memberikan akses internet dan intranet kepada seluruh pegawai BPKP dan jangan ragu untuk belajar memahami berkomunikasi via komputer baik internet maupun intranet. Dan terima kasih yang tiada terkira untuk Bapak-bapak, Ibu-ibu serta Rekan-rekan di Pusinfowas, Subbag Prolap dan Satgas IT atas bantuan dan kerja kerasnya sehingga kami bisa ber-on-line.