Selasa, 05 Juli 2011

Rasionalisasi oh Rasionalisasi

IMHO:
Rasionalisasi PNS, merupakan suatu issue yang saat ini sedang hangatnya berkembang. Wacana yang kembali dilontarkan oleh Menteri Keuangan ini banyak memunculkan pro dan kontra. Rasionalisasi dalam konteks kepegawai dapat diartikan sebagai penyusunan jumlah pegawai dengan rasio yang tepat terhadap pelayanan yang diberikan.
Dari definisi di atas rasionalisasi dapat dimaknai tidak hanya pengurangan pegawai namun juga penambahan, penataan, dan redistribusi pegawai yang pada intinya adalah bagaimana memperoleh pegawai dengan perbandingan yang tepat dengan tugas dan fungsi yang dilaksanakan oleh organisasi.
Sejalan dengan pelaksanaan reformasi birokrasi di bidang SDM yang dilakukan, terdapat beberapa permasalahan yang menarik terkait dengan rasionalisasi PNS jika akan dilakukan. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut:
  1. Masalah kekurangan jumlah pegawai
    Secara umum, berdasarkan perhitungan formasi pegawai, penyampaian daftar kebutuhan pegawai dari unit kerja, maupun hasil dari analisis beban kerja, terdapat kekurangan jumlah pegawai yang memerlukan adanya penambahan pegawai. Namun di beberapa level jabatan juga terjadi adanya “kelebihan pegawai” yang menduduki jabatan tersebut.
  2. Kekurangan "kuantitas pegawai" vs kekurangan "kualitas pegawai".
    Pada saat munculnya pernyataan bahwa terjadi “kekurangan jumlah pegawai”, hendaknya dapat dilakukan kajian lebih lanjut mengenai beban kerja yang ada yang diperbandingkan dengan “orang” yang mengerjakan (bukan jumlah orang).
    Terdapat dua penyebab permasalahan ini:
    • Terkadang yang terjadi adalah KURANG MEMBERDAYAKAN PEGAWAI YANG ADA, dimana pegawai dalam organisasi tersebut cukup banyak namun sedikit yang diberdayakan (L4=lo lagi lo lagi). Sedangkan pegawai yang minim beban kerjanya tidak diberdayakan, malah didiamkan dan tidak diupayakan peningkatan kualitasnya, yang pada akhirnya hanya menjadi "beban organisasi". Perlakuan yang akhirnya diambil dalam menyikapi hal ini adalah berkeinginan untuk “menambah orang atau mengganti orang” yang diharapkan bisa melaksanakan peran yang selama ini tidak dapat dilaksanakan oleh pegawai yang tidak diberdayakan tersebut.
    • Mungkin saja hal ini terjadi karena memang pegawai yang ada tidak dapat menunjukkan kinerja dan kompetensi yang dibutuhkan oleh organisasi untuk melaksanakan penugasan yang telah diberikan. Sehingga dengan sangat terpaksa dilakukan langkah L4 agar penugasan dapat dilaksanakan dan selesai pada waktunya.
  3. Adanya pegawai yang kompetensi dan kualifikasinya tidak sesuai dengan persyaratan minimal yang sebenarnya dibutuhkan oleh organisasi, namun karena sudah jadi PNS, maka harus tetap diberdayakan dan tidak mudah melakukan pemberhentian PNS.
  4. Distribusi pegawai yang tidak merata sesuai dengan kebutuhan tugas dan fungsi yang dijalankan oleh organisasi.
    Kondisi ini mengakibatkan adanya begitu banyak kekurangan pegawai di beberapa unit kerja, namun disisi lain ada unit kerja yang kekurangannya tidak sebanyak unit kerja lain, karena memang secara umum sebagaimana disebutkan pada nomor 1 di atas.
  5. Terakhir adalah hambatan dari sisi peraturan perundang-undangan (PP No. 32 Tahun 1979 mengenai Pemberhentian PNS).
    Jika akan dilakukan upaya pemberhentian pegawai sebagai salah satu cara dalam rasionalisasi, maka PP No. 32 Tahun 1979 harus direvisi. Berdasarkan peraturan ini, maka Pemerintah dapat memberhentikan pegawai jika melakukan pelanggaran disiplin tingkat berat sesuai PP 53/2010, menjadi anggota parpol, meninggal dunia, atas permintaan sendiri, penyederhanaan organisasi, tidak cakap jasmani dan rohani, dan terlambat melapor setelah CLTN.

Memperhatikan langkah rasionalisasi yang pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk memperoleh pegawai dengan perbandingan yang tepat dengan tugas dan fungsi yang dilaksanakan oleh organisasi, maka rasionalisasi hendaknya didahului dengan langkah-langkah yang dapat meyakini bahwa pegawai yang ada adalah mereka yang memenuhi syarat kompetensi dan kualifikasi yang dibutuhkan oleh organisasi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya untuk mencapai tujuan organisasi.

Rasionalisasi yang dilakukan hendaknya didahului dengan proses-proses assessmen pegawai, pemetaan kompetensi pegawai, serta analisa jabatan dan beban kerja yang pada akhirnya dapat mengidentifikasi pegawai dalam 4 kategori, yaitu melampaui kriteria, sesuai kriteria, mendekati kriteria, dan diluar kriteria.

Bagi pegawai yang masuk dalam kategori 1 dan 2, maka mutlah dipertahankan keberadaanya di dalam organisasi. Pegawai yang masuk dalam kategori 3 harus dikaji lebih lanjut, jangan-jangan karena pekerjaan yang saat ini tidak sesuai atau karena area tugas pegawai yang bersangkutan saat ini sudah terlalu banyak orangnya (persaingan yang begitu ketat), sehingga pegawai dalam kategori ini perlu dialihkan ke area tugas lain (mutasi jabatan) atau dialihkan ke wilayah lain (mutasi unit kerja). Sedangkan kategori ke-4 inilah yang menjadi PR besar bagi organisasi, karena tidak terpenuhinya persyaratan dari sisi kompetensi maupun kualifikasi yang dipersyaratkan.

Program-program kediklatan, continuing professional education dan pengembangan pegawai, hendaknya juga dapat dirancang sejalan dengan proses identifikasi ini. Upaya untuk meningkatkan Knowledge, Skill, dan Attitude (KSA), mutlak diperlukan agar pegawai dapat masuk dalam kategori 1, 2, atau minimal masuk dalam ketegori 3.
Beberapa arah yang ingin dicapai dari proses rasionalisasi pegawai adalah:

  1. Proses rasionalisasi yang dilakukan mutlak untuk dapat mempertahankan pegawai Kategori 1 dan 2 di dalam organisasi. Untuk itu organisasi harus menciptakan langkah-langkah yang menarik untuk tetap dapat "mempertahankan pegawai" dalam kategori ini, baik dari sisi pola pengembangan karier pegawai maupun penghargaan lainnya. Di sisi lain, pegawai pun harus mempertahankan dan meningkatkan kompetensi yang dimiliki agar senantiasa dapat memenuhi kebutuhan organisasi akan SDM yang handal.
  2. Upaya kediklatan dan pengembangan pegawai yang dirancang oleh organisasi, hendaknya dapat meningkatkan KSA pegawai, terutama pegawai yang berada di kategori 3 dan 4. Apabila ternyata upaya ini tidak cukup mampu meningkatkan kompetensi dan kualifikasi pegawai, maka perlu diambil langkah “rasionalisasi” terhadap pegawai yang teridentifikasi dalam kategori “deadwood” .
  3. Re-distribusi pegawai dengan menyeimbangkan penempatan pegawai sesuai dengan beban kerja unit, dengan memperhatikan jumlah mitra kerja (Kementerian/Lembaga, pemerintah Daerah, BUMN/D atau Badan lainnya), nilai APBN/D yang diawasi, nilai strategis mitra kerja bagi pemerintahan/pembangunan nasional, dan peran yang dilaksanakan oleh unit kerja (fungsi rendal, fungsi koordinator/kompilator, atau fungsi operasional)
  4. Melakukan perekrutan pegawai baru yang selektif. Perekrutan pegawai yang baik akan menghasilkan SDM yang baik.
    Jangan bicara pengembangan SDM, diklat, staffing, atau penempatan pegawai, jika pegawai yang direkrut sudah tidak baik sejak awal, karena akan sangat costly dan mendekati bentuk kegagalan kaderisasi. Dengan melakukan perekrutan pegawai yang selektif, diharapkan dapat menghasilkan pegawai yang baik dan sesuai dengan kebutuhan organisasi, yang nantinya juga diharapkan memberikan efek tular perubahan kepada pegawai yang sudah ada untuk berkompetisi secara sehat dan menjadi semakin baik. Jangan sampai terjadi suatu kondisi dimana pegawai baru yang awalnya baik malah tertular “virus negatif" dan akhirnya malah menjadi "deadwoods" baru bagi organisasi.
  5. Mengusulkan adanya suatu revisi PP mengenai pemberhentian pegawai, karena JIKA TIDAK ADA perampingan organisasi, masalah "ketidakcakapan" serta pelanggaran disiplin berat, akan sulit bagi Pemerintah melakukan pemberhentian pegawai secara “kedinasan”, kecuali atas permintaan sendiri dari pegawai.

Diskusi lebih lanjut atas hal ini masih sangat terbuka