Kamis, 03 April 2008

TANTANGAN JABATAN

Upaya untuk memperoleh remunerasi yang lebih baik dengan melakukan reformasi birokrasi di lingkungan BPKP, ternyata merupakan pekerjaan besar yang melibatkan banyak pihak karena begitu banyak hal yang harus dipersiapkan, antara lain penyusunan SOP yang angkanya telah mencapai jumlah ribuan untuk semua prosedur kerja di lingkungan BPKP, penyusunan pedoman manajemen yang jumlahnya juga ternyata mencapai angka ratusan, penyusunan uraian jabatan baik itu untuk jabatan struktural maupun fungsional, dan masih banyak hal lainnya.
Pada tulisan kali ini, hal yang ingin disampaikan adalah salah satu bagian kecil dari upaya-upaya reformasi birokrasi yang dilakukan, yaitu pada penyusunan Uraian Jabatan terutama pada bagian TANTANGAN JABATAN.

Penyusunan uraian jabatan yang dilakukan saat ini sebagian besar merupakan proses transformasi bentuk dari uraian jabatan yang sebelumnya pernah disusun dan divalidasikan. Dari bentuk atau format yang telah dibahas dengan pihak Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara ke dalam bentuk sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 70/PM.1/2007 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 138/PM.01/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Analisis Jabatan di Lingkungan Departemen Keuangan.

Pada awalnya ada suatu pertanyaan yang muncul yaitu kenapa kita harus mengikuti bentukan sebagaimana diatur dalam PERMENKEU tersebut, apakah urjab yang telah disusun sebelumnya keliru. Ternyata jawabannya begitu simple, yaitu karena bentuk itulah yang digunakan oleh Departemen Keuangan sebagai bagian proses reformasi birokrasi yang telah mereka lakukan guna penyesuaian remunerasi, sehingga disepakati untuk mengikuti bentuk tersebut agar lebih mudah dalam melakukan pembahasan remunerasi nantinya dengan pihak terkait.

Terdapat beberapa penambahan dalam Uraian Jabatan versi Depkeu ini, terutama adanya uraian untuk mepaparkan lebih lanjut mengenai TANTANGAN JABATAN. Dalam PERMENKEU dideskripsikan bahwa yang diuraikan dalam tantangan jabatan adalah masalah atau tantangan kerja yang dihadapi oleh siapapun pemangku jabatan dalam menjalankan tugas pekerjaannya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yang dianggap kritis dalam organisasi, tidak bersifat pribadi seperti hubungan dengan atasan, ketidakpuasan, dan lain-lain.

Hal yang menarik adalah dari hasil validasi yang dilakukan pada sebagian besar pejabat struktural, mulai dari eselon IV sampai dengan eselon II, serta para pejabat fungsional auditor, dalam mengisi tantangan jabatannya menyebutkan belum adanya payung hukum BPKP. Hal ini dianggap menjadi sumber kegamangan organisasi maupun kegamangan para profesional di lingkungan BPKP dalam melaksanakan tugas karena tidak adanya kepastian payung hukum.
Secara pribadi saya berpendapat ada sesuatu yang belum ‘pas’. Sebagian besar dari kita lebih melihat suatu tantangan payung hukum dibandingkan tantangan operasional yang ada di dekat kita. Payung hukum memang diperlukan sebagai dasar kepastian BPKP dalam bergerak, tapi itu merupakan tantangan dalam tataran tingkat tinggi atau dalam bahasa keseharian ‘itu sih tantangannya bagi Kepala BPKP dan para Bapak-bapak Deputi’.

Dalam tataran operasional ada beberapa tantangan yang harus dipecahkan, antara lain:
  1. Tantangan merubah mindset para profesional di lingkungan BPKP dari ‘tukang audit’ menjadi ‘internal auditor presiden’.
    Kegiatan yang dilakukan oleh BPKP sejak awal mula berdirinya adalah audit dan audit. Inilah yang telah membentuk pola pikir dan pola tindak para profesional di BPKP (struktural maupun fungsional). Sejak awal sebagian besar SDM kita dididik dan dibentuk oleh sistem untuk menjadi seorang Auditor yang Handal.
    Tuntutan perubahan dari ‘user’ BPKP yang menghendaki BPKP tidak hanya menjadi Auditor tapi juga dapat menjadi Evaluator, Konsultan, Penyedia jasa Asistensi, dan lain-lain telah disikapi BPKP dengan begitu baik dengan mempersiapkan pedoman dan perangkat kerja terkait. Namun tantangan terbesarnya adalah pada upaya untuk merubah pola kerja ‘auditor’ karena merubah paradigma ‘superioritas’ yang terbentuk dari pola auditor menjadi paradigma ‘kemitraan’ dan ‘kesejajaran’ yang dituntut dari tugas baru BPKP. Sehingga tuntutannya tidak lagi sekedar sebagai ‘watch dog’ yang sekedar mengangkat temuan dan mencari kesalahan dari pengelolaan keuangan yang telah dilakukan tapi lebih sebagai penyedia sistem peringatan dini dan membantu memperbaiki manajemen pemerintahan itu sendiri baik dari sisi pengelolaan maupun dari sisi kebijakan.
  2. Tantangan menghilangkan dualisme jenjang jabatan karier antara jabatan struktural dengan jabatan fungsional auditor
    Sejak tahun 1998, BPKP telah mencanangkan diri sebagai organisasi dengan bentukan ‘ramping struktur – multi fungsi’. Banyak aturan main yang telah disusun untuk mendukung pelaksanaan hal ini, mulai dari pola hubungan kerja pejabat struktural dengan auditor hingga pola karier dalam jabatan struktural dengan auditor. Konsep yang dibawa dari pola-pola tersebut kembali adalah pola kemitraan antar jabatan dan pola ‘zig-zag’ yang tujuan akhirnya adalah membentuk organisasi yang handal dengan para personil yang mumpuni dan memiliki pandangan yang lebih komprehensif.
    Kenyataan teknis ternyata menunjukkan bukti lain. Tidaklah mudah menggabungkan dua konsepsi jabatan ini dalam satu organisasi. Begitu banyak mis-persepsi yang terjadi, antara lain adalah:
    Keluhan para pejabat struktural yang merasa tidak memperoleh dukungan dari Auditor dalam pelaksanaan tugas karena para Auditor merasa bukan merupakan sub-ordinat dari pejabat struktural tersebut. Disisi lain para Auditor mengeluhkan struktural yang dianggap masih enggan melepas porsi-porsi tugas yang seharusnya sudah menjadi tugas dan fungsi Auditor.
    Keluhan para pejabat struktural atas rendahnya komitmen dan integritas dari Auditor. Disisi lain para Auditor mengeluhkan adanya struktural yang berperan dalam kompetensi teknis dalam jabatan namun tidak didukung oleh sertifikasi.
    Dan lain-lain, dan lain-lain.
    Tentunya masih banyak lagi keluhan yang dapat kita buat disini, namun bukan itulah tujuan yang dari tulisan ini.
    Penyempurnaan lebih lanjut atas pola kerjasama dan pola pengembangan karir dalam dua jenis jenjang jabatan tersebut sangatlah mendesak. Disisi lain ‘maturity’ atas sikap kita untuk dapat bekerjasama secara optimal guna memperoleh output yang terbaik hendaklah didahulukan dibandingkan dengan egoisme sektoral. Memang bukan hal mudah untuk mewujudkan hal ini, tapi tentunya kita tidak menginginkan bentukan organisasi ‘ramping struktur – multi fungsi’ malah menjadi ‘ramping struktur - eh.. malah malfunction’
  3. Tantangan pemerataan jumlah dan peningkatan kompetensi tenaga profesional BPKP
    Tenaga profesional di lingkungan BPKP terdiri dari banyak unsur, mulai dari pejabat struktural, Auditor, Analis, Arsiparis, fungsional umum, dan lainnya. Sesuai dengan tugas fungsi teknis dari BPKP, mayoritas tenaga profesional BPKP adalah yang menduduki jabatan sebagai Auditor. Auditor BPKP yang menyebar di 25 Kantor Perwakilan, ternyata sebelum tahun 2005 sebanyak 35%-nya berada di Kantor Perwakilan yang berada di Pulau Jawa. Padahal beban tugas pada kantor perwakilan di luar pulau Jawa begitu tinggi.
    Upaya pemerataan pegawai dengan melakukan perputaran pegawai untuk mendukung program pemberdayaan dan penguatan BPKP di Perwakilan, sejalan dengan tingginya permintaan dari pemerintah daerah akan peran BPKP ternyata tidaklah mendapat dukungan yang cukup dari para pegawai. Sebagai contoh dari hampir 200 Auditor pada salah satu Perwakilan di Pulau Jawa yang dimutasikan selama 2 tahun terakhir ke Perwakilan-perwakilan di luar pulau Jawa, kurang lebih hanya 50% pegawai yang bersedia untuk bertugas di Perwakilan yang baru. Sisanya menolak dengan berbagai alasan yang akhirnya berbuntut pada pemberhentian yang bersangkutan.
    Banyak hal yang mendorong terjadinya hal tersebut, mulai dari keengganan untuk meninggalkan ‘comfort zone’ yang telah mereka masuki hingga alasan belum transparansinya pola mutasi di lingkungan BPKP. Teori manajemen mengajarkan kita bahwa apabila seseorang atau suatu organisasi ‘keasyikan’ dalam suatu ‘comfort zone’ maka secara perlahan akan pudarlah rasa kepekaan dan kepedulian dia sehingga tanpa disadari secara perlahan akan mengurangi profesionalisme dan kemampuan dalam bekerja. Sehingga akhirnya muncullah apa yang kemudian dikenal dengan nama "ETHOS KERJA MINIMALIS", yaitu suatu ethos kerja dimana dalam bekerja orang sudah merasa cukup jika telah melakukan apa yang menjadi tugas pokok saja, enggan melakukan hal-hal di luar tugas apalagi jika itu membutuhkan banyak inisiatif dan pengorbanan.
    Namun satu hal yang kiranya menjadi pertimbangan kita, bahwa pada saat kita mengambil ‘pilihan’ untuk bekerja di BPKP, maka BPKP bukan hanya kantor pusat atau Jakarta atau Pulau Jawa. BPKP ada di Aceh hingga ‘Jogyapura ’, sehingga konsekuensi atau tanggung jawab dari pilihan itu hendaklah dapat dilaksanakan dengan baik.

Tentunya masih banyak tantangan lainnya yang ada disekitar kita. Apapun tantangan itu semoga kita dapat menghadapi dan menyelesaikannya dengan cerdas. Pada akhirnya kita sama-sama berharap upaya kita untuk melakukan reformasi birokrasi akan mencapai tujuannya yaitu BPKP yang lebih baik dan remunerasi yang tentunya juga lebih besar.

Tidak ada komentar: