Selasa, 29 April 2008

Ethos Kerja Minimalis

Ethos kerja atau kebiasaan kerja atau nilai-nilai dalam bekerja, merupakan istilah yang sering kita dengar dalam keseharian kita. Ethos berasal dari bahasa Yunani yang berarti kebiasaan. Kata ini dalam istilah bahasa Yunani pun berkembang dengan adanya istilah “ethikos” yang berarti timbul dari kebiasaan. Dalam serapan bahasa Indonesia kata ini kemudian disebut dengan etika. Istilah ethos atau ethikos ini pertama kali diperkenalkan dalam bahasa Inggris oleh Myrmekolog berkebangsaan Amerika, William Morton Wheeler pada tahun 1902.

Dalam bekerja, kita senantiasa dituntut untuk memiliki ethos kerja yang tinggi, yaitu suatu sikap dalam bekerja yang menjunjung tinggi nilai etika dan dalam melaksanakan pekerjaan didasarkan pada asas profesionalisme. Selain itu kita juga diharapkan memiliki suatu nilai kepekaan yang tinggi terhadap kondisi yang ada disekitar kita dan senantiasa bersikap positif. Memang bukan hal yang mudah untuk melaksanakan dan sangat bersifat konsepsi yang begitu “ngawang-ngawang”. Namun itulah slogan yang senantiasa dihembuskan dalam dunia kerja kita.

Sebagian dari kita apabila ditanyakan mengenai hal ini pasti akan menjawab bahwa telah memiliki ethos kerja yang sangat baik. Namun persepsi sebagian pengguna jasa menunjukkan bahwa kondisi saat ini terdapat suatu degradasi yang tanpa disadari sedikit demi sedikit mengurangi makna dan hakekat dari ethos kerja yang begitu dijunjung tinggi. Sehingga membawa kita dalam suatu kondisi berethos kerja yang begitu minim dalam melaksanakan pekerjaan atau memberikan pelayanan. Keadaan ini dikenal dengan istilah ETHOS KERJA MINIMALIS.

Paulus Wirutomo, Guru Besar Sosiolog Universitas Indonesia, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ETHOS KERJA MINIMALIS adalah suatu ethos kerja yang dimiliki seorang pegawai yang merasa cukup jika telah melakukan apa yang menjadi tugas pokok. Mereka yang memiliki ethos kerja minimalis ini enggan melakukan hal-hal di luar tugas, apalagi jika itu membutuhkan banyak inisiatif dan pengorbanan.

Ethos kerja minimalis ini membawa beberapa dampak, antara lain pada tumbuhnya apatis terhadap nasib sesamanya, berkurangnya kepekaan atas kondisi lingkungan, berkurangnya rasa kebersamaan, dan merasa cukup untuk bekerja sesuai dengan pedoman tanpa pernah berupaya untuk memberikan upaya lebih atau bekerja lebih baik dari standar.

Terdapat beberapa penyebab terjadinya ethos kerja minimalis, mulai dari banyaknya masalah atau beban kerja yang harus diselesaikan setiap harinya, sehingga jika ada yang harus dibantu atau dilayani lebih, mengakibatkan ada banyak tugas lainnya atau orang lain yang harus dibantu hingga akhirnya daripada repot sendiri, lebih baik di-cuek-in aja.

Penyebab lain dari ethos kerja minimalis adalah berasal dari perlakuan yang diterima sebagian besar pegawai dari lingkungan atau tempat kerjanya. Wirutomo berpandangan bahwa ethos kerja minimalis merupakan sikap yang timbal balik. Jika pegawai diperlakukan minimalis oleh atasannya atau lingkungan kerjanya maka dia akan berlaku serupa terhadap orang lain.

Ethos kerja minimalis juga dapat disebabkan oleh begitu banyaknya peraturan atau ketentuan atau pedoman atau standar yang harus dipatuhi sehingga pegawai menjadi tidak lagi mengetahui referensi atau acuan yang mana lagi yang akan digunakan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. ‘Bejibun-nya’ referensi atau acuan atau pedoman atau SOP membawa dampak pada pegawai yang merasa cukup bekerja dalam aturan yang ada, pada akhirnya membuat tanggung jawab kerja yang dibuatnya menjadi terbatas. Sehingga bagi sebagian pegawai lainnya akan merasa “untuk apa melakukan sesuatu yang bukan tanggung jawabnya”.

Keterbatasan tanggung jawab ini membuat pegawai akan beranggapan bahwa orang lain akan melakukan hal itu namun masalahnya orang lain juga berpikiran serupa sehingga akhirnya justru tidak ada orang yang melakukannya.

Sekarang kembali ke kita, apakah ethos kerja kita akan terdegradasi sehingga menjadi pegawai yang memiliki ethos kerja minimalis atau apakah kita telah berhasil menumbuhkan ethos kerja di diri kita dan di organisasi kita, sehingga ethos kerja yang baik akan terus berkembang menjadi bentukan ethos kerja yang ideal yang didambakan oleh kita bersama.

Selasa, 08 April 2008

Senses of Services

Dalam keseharian kita sering mengenal banyak sekali istilah senses (rasa/peka), baik senses of crisis, senses of art, atau senses of humor. Kini muncul khazanah baru yang mungkin terkait dengan kegiatan rutin kita, yaitu senses of service. Secara harfiah sense diartikan sebagai suatu rasa peka.

Sama seperti senses lainnya, senses of service juga merupakan suatu kepekaan yang harus ditumbuhkembangkan dari diri kita. Senses ini diperlukan sebagai upaya untuk memberikan pelayanan. Pelayanan disini bukanlah suatu bentuk layanan yang diberikan oleh seorang servant, namun lebih kepada penyediaan jasa atau memberikan support kepada partner kerja kita, baik kepada atasan, bawahan, maupun rekan sejawat.

Senses of service bisa dimiliki oleh semua orang karena kita yakin bahwa suatu senses selain merupakan suatu bawaan seseorang juga dapat dibentuk dan dilatih kepekaannya. Hal ini dapat dimulai dengan kita menilai diri, apakah pada saat kita melihat bahwa rekan kita mengalami kesulitan dalam menyelesaikan pekerjaannya atau memiliki load kerja yang cukup tinggi kita hanya menjadi pemirsa setia saja atau kita berupaya memberikan saran, dan jika diperkenankan, bahkan membantunya untuk menyelesaikan pekerjaan. Ini juga merupakan bagian dari senses of service. Apabila kita dalam tahapan dan posisi selalu menunggu penugasan atau menunggu permintaan bantuan dari rekan kerja mungkin mulai saat inilah kita harus mulai melatih senses of service kita.

Selain memiliki senses of service, kita juga harus tetap memperhatikan bahwa kita memiliki pula tanggung jawab terhadap tugas yang diembankan kepada kita. Disinilah diperlukan pula profesional judgment dari kita sebagi individu untuk tetap menyelesaikan tugas namun juga tidak melupakan senses of services bagi kelancaran tugas organisasi secara keseluruhan.

Tidak ada kata terlambat untuk memulai, apalagi kita bersama telah mencanangkan suatu misi untuk mewujudkan pelayanan prima kepada Auditor Internal Pemerintah.

Kamis, 03 April 2008

WAKTUNYA BER-ON-LINE

Bagi sebagian orang, komputer adalah benda aneh yang canggih bagaikan bola kristal seorang penyihir atau peramal, tetapi di sisi lain pada benak kebanyakan orang, komputer adalah barang yang sangat sederhana yang merupakan mesin tik yang canggih. Mungkin karena letak-letak huruf pada papan (keyboard) serupa dengan letak huruf pada mesin tik dan kebanyakan orang menggunakan komputer hanya untuk mengetik. Setidaknya komputer serupa dengan mesin tik ketika digunakan untuk mengetik surat.

Komputer menjadi benda yang semakin ajaib ketika berhubungan dengan internet atau jaringan lokal. Kok bisa sih, sebuah benda yang bernama komputer mengirimkan tulisan yang diketik dengan papan tik kepada seseorang yang juga memiliki benda serupa nun jauh disana?

Bagaimana mungkin sebuah komputer yang hanya terhubung ke saluran telepon kemudian bisa menampilkan berbagai macam gambar diam maupun gambar bergerak dan masih ditambah suara? Kalo ini komputer dilihat sebagai televisi. Komputer memang seperti televisi, paling tidak jika melihat sosok monitornya. Dan sesungguhnya monitor komputer sama dengan pesawat televisi, hanya monitor komputer tidak dilengkapi alat penerima gelombang televisi.

Bagaimana memaksimalkan manfaat komputer dan tidak “merendahkan” komputer dengan menyamakannya dengan mesin tik?

Sepuluh tahun yang lalu, di kantor kita, baik di pusat maupun di perwakilan, dengan pegawai beberapa puluh atau bahkan ratusan, mungkin hanya dilengkapi beberapan unit komputer saja yang dimanfaatkan untuk mengetik surat, mengetik LHP, dan laporan lainnya. Laporan itu kemudian dicetak dengan menggunakan printer dot-matrix yang suaranya memekakkan telinga dan jika malam ”mengundang” pencuri untuk datang.

Sekarang seperangkat peralatan komputer dengan printer berkualitas laser merupakan perlengkapan kerja standar di setiap unit kerja di lingkungan BPKP. Hampir seluruh unit kerja BPKP baik di Pusat maupun di Perwakilan telah melengkapi komputer di setiap ruangan dengan akses ke jaringan intranet yang boleh dikatakan tanpa batas. Mungkin sebagian lainnya masih membatasi penyediaan akses intranet ini. “Kalau diberi akses intranet, pegawai tidak produktif karena setiap saat browsing dan chatting aja kerjaannya,” demikian komentar dari beberapa orang – mungkin juga termasuk Anda.

Komputer diciptakan untuk meningkatkan produktivitas bukan menurunkan produktivitas. Jika menggunakan komputer malahan menurunkan produktivitas, ada yang salah dengan pola pikir dan cara kerja pegawai atau salah memanfaatkan komputer. Lalu bagaimana memanfaatkan komputer untuk meningkatkan produktivitas?

Produktivitas sangat erat hubungannya dengan kondisi kesehatan. Posisi duduk yang salah ketika kerja menggunakan komputer bisa menyebabkan sakit pinggang, sakit leher, dan mata. Jika terdapat keluhan atas penggunaan komputer seperti sakit leher atau sakit pinggang atau mata perih, pasti ada yang salah dalam posisi dalam bekerja. Karena itu, atur posisi duduk di depan komputer yang paling nyaman.

Posisi duduk yang baik adalah posisi tubuh tegak, kepala dan badan menghadap ke depan. Berarti monitor dan keyboard harus berada di depan, jangan meletakkan monitor di sisi sebelah kiri atau kanan. Juga jangan meletakkan monitor lebih tinggi atau lebih rendah dari pandangan. Usahakan posisi keyboard pas ketika sudut siku kita berada dalam posisi 90 derajat. Supaya bisa memposisikan komputer (terutama monitor) dengan pas, memang diperlukan penyediaan meja kerja yang cocok.

Monitor komputer yang sangat terang bisa membuat mata cepat lelah dan menjadi merah teriritasi. Jadi selama 10 menit dalam setiap beberapa jam, alihkan pandangan ke titik yang jauh untuk mengistirahatkan mata agar tidak berakomodasi terlalu lama.

Kelengkapan piranti keras komputer bisa menambah produktivitas. Misalnya, speaker dan CD drive untuk mendengarkan musik. Suara musik di latar belakang yang ringan bagi sebagian orang membuat mudah berkonsentrasi saat bekerja, sebagian lainnya lebih produktif jika tidak ada suara sama sekali. Jika hanya sendiri dalam ruangan, putarlah lagu kesukaan untuk membuat suasana menjadi nyaman. Jika tidak sendiri di satu ruangan, supaya tidak mengganggu rekan kerja gunakan headphone untuk mendengarkan lagu kesukaan. Hindarilah persaingan suara dalam memutar lagu pada suatu ruangan. Ingat kita sedang bekerja bukan sedang menarik pelanggan untuk membeli kaset atau album seperti di toko-toko kaset.

Kelengkapan piranti lunak (software) juga bisa meningkatkan produktivitas kerja. Tetapi yang juga penting adalah bagaimana memanfaatkan piranti lunak itu secara maksimal. Buatlah catatan-catatan langkah-langkah praktis dalam mengoperasikan piranti lunak yang ada dalam buku notes atau catatan kecil lainnya agar kerja kita tidak terganggu akibat kesulitan kecil mengoperasikan piranti lunak itu.

Komputer di sebagian kantor kita yang telah tersambung dengan jaringan lokal (LAN=Local Area Network) sangat membantu mengefisiensikan waktu kerja maupun menghemat biaya operasional kantor. E-mail kedinasan ketika digunakan untuk mengirim surat, bisa menghemat kertas (tidak perlu dicetak dan dikopi) dan waktu (tidak perlu mengantar/mengirim surat tercetak).

Dokumen laporan setebal 100 halaman tidak perlu dicetak hingga 10 kopi untuk para Pejabat, tapi cukup mengirim file itu melalui LAN ke komputer masing-masing Pejabat dalam waktu sekaligus. Bayangkan jika dokumen itu harus dicetak. Berapa banyak biayanya, dan waktu yang diperlukan mulai dari mencetak, mengkopi, menjilid, dan mengirimkannya ke para Pejabat?

Proses review laporan pun dapat dilakukan secara elektronis dan on-line. Optimalisasi penggunaan fasilitas dari Lotus Notes sangat memungkinkan untuk dilakukan proses review on-line secara real-time. Di sisi lain kegiatan review berjenjang pun akan lebih cepat dan lebih hemat karena dapat dilakukan secara paperless. Permasalahannya sekarang adalah bagaimana kita merubah sedikit saja kebiasaan kita dari review tercetak ke review paperless ini. Fasilitas pada software office produksi Microsoft yang sebagian besar dari kita menggunakannya, sangat memungkinkan untuk dilakukannya hal ini. Bayangkan, berapa ratus juta rupiah yang akan kita hemat dan dapat kita alihkan belanjanya untuk keperluan kantor yang lebih mendesak, apabila kita bersama-sama mulai mengarah kepada proses kerja dan review konsep hasil kerja ini secara on-line dan paperless.

Internet dan Intranet membuat komunikasi antar pegawai dan dengan para stakeholders menjadi begitu bebas dan demokratis. Seringkali berita buruk pertama kali tidak datang pada Pimpinan tapi pada pegawai yang tingkatannya paling rendah.
Pelayanan kantor yang buruk, yang seharusnya diketahui oleh para Pimpinan kita, seringkali berhenti sampai pada satpam. Tetapi dengan adanya akses internet/intranet untuk pegawai, berita buruk mengenai organisasi/kantor bisa segera sampai Pimpinan. Kita sudah bersama-sama membuktikannya dengan berbagi begitu banyak informasi dan cerita dengan memanfaatkan fasilitas mailing list ini yang telah disiapkan oleh Pusinfowas.

Jadi jangan ragu memberikan akses internet dan intranet kepada seluruh pegawai BPKP dan jangan ragu untuk belajar memahami berkomunikasi via komputer baik internet maupun intranet. Dan terima kasih yang tiada terkira untuk Bapak-bapak, Ibu-ibu serta Rekan-rekan di Pusinfowas, Subbag Prolap dan Satgas IT atas bantuan dan kerja kerasnya sehingga kami bisa ber-on-line.

HAL-HAL KECIL SEBELUM PULANG KANTOR

Sebelum anda meninggalkan kantor seusai jam kerja yang melelahkan, mari sempatkan memeriksa hal-hal kecil berikut:

Apakah air minum anda masih tersisa?
Bila ya, teguklah habis, atau anda bisa siramkan pada tanaman ruangan yang juga butuh kesegaran. Setiap tetes air tentulah berguna. Jadi jangan sia-siakan.

Apakah lampu, pendingin ruangan dan komputer anda masih menyala?
Bila ya, segera matikan. Meski energi tak pernah lenyap, namun bukan alasan untuk boros.

Luangkan juga waktu anda untuk menengok, apakah masih ada rekan-rekan anda yang bekerja hingga larut?
Bila ya, alangkah manisnya bila anda sapa sejenak. Meski anda tak membantu menyelesaikan pekerjaannya, namun kehangatan selalu meringankan beban dan mengobati kelelahan.Di balik hal-hal kecil seringkali terselip butir-butir mutiara makna yang tak ternilai. Terlebih lagi, bila itu kita lakukan atas dasar kepedulian dan kehangatan pribadi. Berikan perhatian tulus pada apa-apa yang ada di sekitar kita.

Banyaknya beban kerja dan kerasnya keseharian yang harus kita lewati tak boleh mengikis kelembutan jiwa.Have a great day.....(HS)

KAMAR MANDI - BUDAYA DAN KEPRIBADIAN

Tahukah Anda, bahwa Kamar Mandi menunjukkan budaya dan kepribadian dari para penggunanya?
Boleh percaya atau tidak, kamar mandi di suatu kantor dapat menunjukkan budaya dan kepribadian dari para pejabat/pegawai yang menggunakan kamar mandi tersebut.

1. Budaya Bersih
Kamar mandi yang bersih menunjukkan bahwa para penggunanya menyukai lingkungan yang bersih. Ini dibuktikan dengan menjaga kebersihan di kamar mandinya.

2. Budaya Toleran
Meninggalkan kamar mandi dalam keadaan yang bersih dari sisa-sisa pembuangan yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa mereka yang menggunakan kamar mandi tersebut telah toleran untuk tidak memberikan sesuatu yang kotor kepada mereka yang akan menggunakan kamar mandi itu berikutnya. Bayangkan kalau giliran berikutnya adalah kita kembali, karena tuntutan perut atau karena pendingin yang berlebihan sehingga memaksa kita untuk kembali mengunjungi kamar mandi, padahal kita sendiri telah melakukan perbuatan intoleran sebelumnya.

3. Budaya Disiplin
Mematikan kembali keran dengan baik, menutup kembali lubang pembuangan (untuk WC duduk) dan menekan tombol ”flush” untuk pembuangan atau melakukan penyiraman serta tidak adanya jejak kaki di tempat duduk pada WC duduk, menunjukkan suatu bentuk kedisiplinan diri dari para pengguna atas prosedur umum dalam penggunaan kamar mandi.

Masih banyak lagi hal-hal kecil lain yang merupakan bentuk menghormati rekan kerja dan menunjukkan kepribadian dari para pengguna kamar mandi di kantor. Sudah waktunya kita melakukan REVOLUSI PENGGUNAAN KAMAR MANDI. Kamar mandi bukan hanya tanggung jawab dari teman-teman cleaning service atau rekan-rekan tenaga honorer yang ditugaskan membersihkannya, tapi juga tanggung jawab kita sebagai pengguna untuk menunjukkan budaya dan kepribadian kita dengan membantu mereka menjaga kebersihan kamar mandi. (HS)

TANTANGAN JABATAN

Upaya untuk memperoleh remunerasi yang lebih baik dengan melakukan reformasi birokrasi di lingkungan BPKP, ternyata merupakan pekerjaan besar yang melibatkan banyak pihak karena begitu banyak hal yang harus dipersiapkan, antara lain penyusunan SOP yang angkanya telah mencapai jumlah ribuan untuk semua prosedur kerja di lingkungan BPKP, penyusunan pedoman manajemen yang jumlahnya juga ternyata mencapai angka ratusan, penyusunan uraian jabatan baik itu untuk jabatan struktural maupun fungsional, dan masih banyak hal lainnya.
Pada tulisan kali ini, hal yang ingin disampaikan adalah salah satu bagian kecil dari upaya-upaya reformasi birokrasi yang dilakukan, yaitu pada penyusunan Uraian Jabatan terutama pada bagian TANTANGAN JABATAN.

Penyusunan uraian jabatan yang dilakukan saat ini sebagian besar merupakan proses transformasi bentuk dari uraian jabatan yang sebelumnya pernah disusun dan divalidasikan. Dari bentuk atau format yang telah dibahas dengan pihak Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara ke dalam bentuk sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 70/PM.1/2007 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 138/PM.01/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Analisis Jabatan di Lingkungan Departemen Keuangan.

Pada awalnya ada suatu pertanyaan yang muncul yaitu kenapa kita harus mengikuti bentukan sebagaimana diatur dalam PERMENKEU tersebut, apakah urjab yang telah disusun sebelumnya keliru. Ternyata jawabannya begitu simple, yaitu karena bentuk itulah yang digunakan oleh Departemen Keuangan sebagai bagian proses reformasi birokrasi yang telah mereka lakukan guna penyesuaian remunerasi, sehingga disepakati untuk mengikuti bentuk tersebut agar lebih mudah dalam melakukan pembahasan remunerasi nantinya dengan pihak terkait.

Terdapat beberapa penambahan dalam Uraian Jabatan versi Depkeu ini, terutama adanya uraian untuk mepaparkan lebih lanjut mengenai TANTANGAN JABATAN. Dalam PERMENKEU dideskripsikan bahwa yang diuraikan dalam tantangan jabatan adalah masalah atau tantangan kerja yang dihadapi oleh siapapun pemangku jabatan dalam menjalankan tugas pekerjaannya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yang dianggap kritis dalam organisasi, tidak bersifat pribadi seperti hubungan dengan atasan, ketidakpuasan, dan lain-lain.

Hal yang menarik adalah dari hasil validasi yang dilakukan pada sebagian besar pejabat struktural, mulai dari eselon IV sampai dengan eselon II, serta para pejabat fungsional auditor, dalam mengisi tantangan jabatannya menyebutkan belum adanya payung hukum BPKP. Hal ini dianggap menjadi sumber kegamangan organisasi maupun kegamangan para profesional di lingkungan BPKP dalam melaksanakan tugas karena tidak adanya kepastian payung hukum.
Secara pribadi saya berpendapat ada sesuatu yang belum ‘pas’. Sebagian besar dari kita lebih melihat suatu tantangan payung hukum dibandingkan tantangan operasional yang ada di dekat kita. Payung hukum memang diperlukan sebagai dasar kepastian BPKP dalam bergerak, tapi itu merupakan tantangan dalam tataran tingkat tinggi atau dalam bahasa keseharian ‘itu sih tantangannya bagi Kepala BPKP dan para Bapak-bapak Deputi’.

Dalam tataran operasional ada beberapa tantangan yang harus dipecahkan, antara lain:
  1. Tantangan merubah mindset para profesional di lingkungan BPKP dari ‘tukang audit’ menjadi ‘internal auditor presiden’.
    Kegiatan yang dilakukan oleh BPKP sejak awal mula berdirinya adalah audit dan audit. Inilah yang telah membentuk pola pikir dan pola tindak para profesional di BPKP (struktural maupun fungsional). Sejak awal sebagian besar SDM kita dididik dan dibentuk oleh sistem untuk menjadi seorang Auditor yang Handal.
    Tuntutan perubahan dari ‘user’ BPKP yang menghendaki BPKP tidak hanya menjadi Auditor tapi juga dapat menjadi Evaluator, Konsultan, Penyedia jasa Asistensi, dan lain-lain telah disikapi BPKP dengan begitu baik dengan mempersiapkan pedoman dan perangkat kerja terkait. Namun tantangan terbesarnya adalah pada upaya untuk merubah pola kerja ‘auditor’ karena merubah paradigma ‘superioritas’ yang terbentuk dari pola auditor menjadi paradigma ‘kemitraan’ dan ‘kesejajaran’ yang dituntut dari tugas baru BPKP. Sehingga tuntutannya tidak lagi sekedar sebagai ‘watch dog’ yang sekedar mengangkat temuan dan mencari kesalahan dari pengelolaan keuangan yang telah dilakukan tapi lebih sebagai penyedia sistem peringatan dini dan membantu memperbaiki manajemen pemerintahan itu sendiri baik dari sisi pengelolaan maupun dari sisi kebijakan.
  2. Tantangan menghilangkan dualisme jenjang jabatan karier antara jabatan struktural dengan jabatan fungsional auditor
    Sejak tahun 1998, BPKP telah mencanangkan diri sebagai organisasi dengan bentukan ‘ramping struktur – multi fungsi’. Banyak aturan main yang telah disusun untuk mendukung pelaksanaan hal ini, mulai dari pola hubungan kerja pejabat struktural dengan auditor hingga pola karier dalam jabatan struktural dengan auditor. Konsep yang dibawa dari pola-pola tersebut kembali adalah pola kemitraan antar jabatan dan pola ‘zig-zag’ yang tujuan akhirnya adalah membentuk organisasi yang handal dengan para personil yang mumpuni dan memiliki pandangan yang lebih komprehensif.
    Kenyataan teknis ternyata menunjukkan bukti lain. Tidaklah mudah menggabungkan dua konsepsi jabatan ini dalam satu organisasi. Begitu banyak mis-persepsi yang terjadi, antara lain adalah:
    Keluhan para pejabat struktural yang merasa tidak memperoleh dukungan dari Auditor dalam pelaksanaan tugas karena para Auditor merasa bukan merupakan sub-ordinat dari pejabat struktural tersebut. Disisi lain para Auditor mengeluhkan struktural yang dianggap masih enggan melepas porsi-porsi tugas yang seharusnya sudah menjadi tugas dan fungsi Auditor.
    Keluhan para pejabat struktural atas rendahnya komitmen dan integritas dari Auditor. Disisi lain para Auditor mengeluhkan adanya struktural yang berperan dalam kompetensi teknis dalam jabatan namun tidak didukung oleh sertifikasi.
    Dan lain-lain, dan lain-lain.
    Tentunya masih banyak lagi keluhan yang dapat kita buat disini, namun bukan itulah tujuan yang dari tulisan ini.
    Penyempurnaan lebih lanjut atas pola kerjasama dan pola pengembangan karir dalam dua jenis jenjang jabatan tersebut sangatlah mendesak. Disisi lain ‘maturity’ atas sikap kita untuk dapat bekerjasama secara optimal guna memperoleh output yang terbaik hendaklah didahulukan dibandingkan dengan egoisme sektoral. Memang bukan hal mudah untuk mewujudkan hal ini, tapi tentunya kita tidak menginginkan bentukan organisasi ‘ramping struktur – multi fungsi’ malah menjadi ‘ramping struktur - eh.. malah malfunction’
  3. Tantangan pemerataan jumlah dan peningkatan kompetensi tenaga profesional BPKP
    Tenaga profesional di lingkungan BPKP terdiri dari banyak unsur, mulai dari pejabat struktural, Auditor, Analis, Arsiparis, fungsional umum, dan lainnya. Sesuai dengan tugas fungsi teknis dari BPKP, mayoritas tenaga profesional BPKP adalah yang menduduki jabatan sebagai Auditor. Auditor BPKP yang menyebar di 25 Kantor Perwakilan, ternyata sebelum tahun 2005 sebanyak 35%-nya berada di Kantor Perwakilan yang berada di Pulau Jawa. Padahal beban tugas pada kantor perwakilan di luar pulau Jawa begitu tinggi.
    Upaya pemerataan pegawai dengan melakukan perputaran pegawai untuk mendukung program pemberdayaan dan penguatan BPKP di Perwakilan, sejalan dengan tingginya permintaan dari pemerintah daerah akan peran BPKP ternyata tidaklah mendapat dukungan yang cukup dari para pegawai. Sebagai contoh dari hampir 200 Auditor pada salah satu Perwakilan di Pulau Jawa yang dimutasikan selama 2 tahun terakhir ke Perwakilan-perwakilan di luar pulau Jawa, kurang lebih hanya 50% pegawai yang bersedia untuk bertugas di Perwakilan yang baru. Sisanya menolak dengan berbagai alasan yang akhirnya berbuntut pada pemberhentian yang bersangkutan.
    Banyak hal yang mendorong terjadinya hal tersebut, mulai dari keengganan untuk meninggalkan ‘comfort zone’ yang telah mereka masuki hingga alasan belum transparansinya pola mutasi di lingkungan BPKP. Teori manajemen mengajarkan kita bahwa apabila seseorang atau suatu organisasi ‘keasyikan’ dalam suatu ‘comfort zone’ maka secara perlahan akan pudarlah rasa kepekaan dan kepedulian dia sehingga tanpa disadari secara perlahan akan mengurangi profesionalisme dan kemampuan dalam bekerja. Sehingga akhirnya muncullah apa yang kemudian dikenal dengan nama "ETHOS KERJA MINIMALIS", yaitu suatu ethos kerja dimana dalam bekerja orang sudah merasa cukup jika telah melakukan apa yang menjadi tugas pokok saja, enggan melakukan hal-hal di luar tugas apalagi jika itu membutuhkan banyak inisiatif dan pengorbanan.
    Namun satu hal yang kiranya menjadi pertimbangan kita, bahwa pada saat kita mengambil ‘pilihan’ untuk bekerja di BPKP, maka BPKP bukan hanya kantor pusat atau Jakarta atau Pulau Jawa. BPKP ada di Aceh hingga ‘Jogyapura ’, sehingga konsekuensi atau tanggung jawab dari pilihan itu hendaklah dapat dilaksanakan dengan baik.

Tentunya masih banyak tantangan lainnya yang ada disekitar kita. Apapun tantangan itu semoga kita dapat menghadapi dan menyelesaikannya dengan cerdas. Pada akhirnya kita sama-sama berharap upaya kita untuk melakukan reformasi birokrasi akan mencapai tujuannya yaitu BPKP yang lebih baik dan remunerasi yang tentunya juga lebih besar.